عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ بِمِنًى فَانْحَرَفَ فَرَأَى رَجُلَيْنِ وَرَاءَ النَّاسِ فَدَعَا بِهِمَا فَجِيءَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَ النَّاسِ فَقَالَا قَدْ كُنَّا صَلَّيْنَا فِي الرِّحَالِ قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ فَلْيُصَلِّهَا مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ
Dari Jabir bin Yazid bin Al Aswad dari Bapaknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat fajar di Mina. Maka ketika beliau berpaling, beliau melihat dua orang laki-laki di belakang (tidak shalat). Beliau kemudian memanggil keduanya, hingga kedua laki-laki itu dibawa ke hadapan Rasulullah dalam keadaan gemetar. Beliau lalu bertanya: "Apa yang menghalangi kalian berdua untuk shalat bersama jama'ah?" kedua laki-laki itu menjawab: "Kami telah menunaikan shalat di perjalanan." Beliau bersabda: "Janganlah kalian berbuat seperti itu. Jika salah seorang dari kalian telah menunaikan shalat di perjalanannya lalu mendapati jama'ah yang sedang shalat bersama imam, maka hendaklah ia turut menunaikan shalat, karena shalat itu baginya adalah nafilah." (H.R. Ahmad).
Diriwayatkan pada hadist tersebut bahwa orang yang sudah shalat subuh boleh shalat subuh lagi, kalau ia mendapati imam yang belum shalat. Bagi orang tersebut, shalat subuh yang keduanya itu merupakan shalat sunah.
Diriwayatkan pada hadist tersebut bahwa orang yang sudah shalat subuh boleh shalat subuh lagi, kalau ia mendapati imam yang belum shalat. Bagi orang tersebut, shalat subuh yang keduanya itu merupakan shalat sunah.
Apa yang dijelaskan pada hadist H.R Ahmad adalah merupakan Asbabul Warud yaitu asal kejadiannya, Tapi yang terpakai adalah keumuman lafazhnya yaitu "kalau kita sudah mengerjakan sesuatu shalat (tidak terbatas subuh saja), maka kita boleh atau dianjurkan mengikuti imam/jama'ah yang akan melaksanakan shalat tersebut.
Adapun hadist yang melarang shalat sesudah shalat subuh itu adalah sebagai berikut :
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920).
Karena tidak ada yang mengkhususkan maka larangan pada hadist diatas berlaku umum, yaitu tidak boleh shalat apa saja (wajib/sunah) setelah shalat subuh dan ashar hingga terbit matahari atau terbenam matahari.
"Shalat apa saja" yang dimaksud adalah shalat yang berbeda jenis, sebab huruf ( لا ) pada hadist diatas adalah Lam Nafihyah lil jinsi yang berfungsi menafikan jenis.
Jadi kalau seseorang shalat subuh lagi setelah shalat subuh, maka yang demikian tidak dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah melanggar larangan, sebab shalat yang pertama dan yang kedua adalah sejenis, hanya saja yang pertama berstatus sebagai shalat fardhu/wajib dan yang kedua merupakan nafilah/sunah. Demikian pula untuk shalat-shalat yang lain.
Kesimpulan :
Antara hadist tentang diperbolehkannya shalat setelah shalat subuh (H.R Ahmad) dan hadist tentang pelarangan sholat setelah shalat subuh dan shalat ashar (HR. Al-Bukhari dan Muslim) tidak terdapat pertentangan.
Shalat yang dilarang setelah shalat subuh dan shalat ashar adalah shalat yang berbeda jenis. Yang terjadi pada hadist HR. Ahmad adalah shalat yang sejenis.