Meninjau Bentuk Piramida Dari Sisi Astronomi

piramida
Piramida merupakan bangun tiga dimensi dengan dasar segitiga, segiempat maupun poligon teratur lainnya dengan sisi-sisi berbentuk segitiga yang bertemu pada satu titik di puncak. Meski demikian piramida dengan dasar segiempat merupakan piramida paling umum dijumpai. Piramida dijumpai dalam berbagai kebudayaan. Misalnya Mesir kuno, yang kerap diidentikkan dengan piramida meskipun piramida terbanyak ternyata dimiliki oleh kebudayaan Sudan/Nubia kuno (220 buah, Mesir hanya 135 buah). Namun bentuk-bentuk piramid dijumpai pula di kebudayaan Mesopotamia (sebagai ziggurat), Yunani, Romawi, Mesoamerika, Amerika Utara dan Cina.

Tujuan pembangunan piramida atau bangunan mirip piramida di berbagai penjuru dunia itu relatif sama, yakni sebagai pusat peribadahan, pusat religi dalam masing-masing kebudayaan. Cukup mengesankan bahwa bangunan piramida atau yang menyerupai piramida secara astronomis dirancang demikian cermat sehingga orientasinya menghadap ke titik-titik istimewa tertentu di langit. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kepercayaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut, yang menganggap dewa-dewa mereka senantiasa berada di langit mengawasi setiap saat dalam rupa bintik-bintik cahaya yang gemerlap.

Selain itu posisi piramida atau bangunan menyerupai piramida selalu menuju keempat penjuru mataangin dengan presisi demikian tinggi.Bentuk-bentuk mirip piramida juga dijumpai dalam kebudayaan India kuno dan Indonesia kuno. Candi Borobudur misalnya, mengesankan sebagai bentuk piramida berundak, meskipun teknik konstruksi Borobudur amat berbeda dibandingkan piramida Mesir. Candi-candi utama di Prambanan memiliki bagian atas yang menyerupai piramida, meski dengan proporsi jauh berbeda. Pun demikian candi Penataran yang berlanggam Jawa Timuran. Satu-satunya candi yang amat mirip piramida adalah candi Sukuh di lereng Gunung Lawu (Jawa Tengah), yang dibangun pada abad ke-15 menjelang runtuhnya Majapahit.

Sebelumnya, mari kita ulas terlebih dahulu tentang sistem mataangin. Kita mengenal empat mataangin primer (utara, timur, selatan, barat) dan empat mataangin sekunder (timur laut, tenggara, barat daya, barat laut). Di antara mataangin pimer dan sekunder kadang ditambahkan pula mataangin tersier. Namun dalam astronomi, mata-mataangin tersebut dikuantifikasi ke dalam sistem azimuth yang berjumlah 360. Untuk mataangin primer, utara adalah arah nol (0) atau 360, timur adalah arah 90, selatan adalah arah 180 dan barat adalah arah 270. Karena mataangin sekunder adalah tengah-tengah antara dua mataangin primer yang berdampingan, maka timur laut adalah arah 45, tenggara adalah arah 135, barat daya adalah arah 225 dan barat laut adalah arah 315.

Mari lihat piramida Mesir, misalnya yang terpopuler di dataran Giza. Sisi-sisi tiap piramida di Giza ternyata tepat menghadap ke sumbu utara-selatan timur-barat dengan presisi demikian tinggi. Presisi tersebut bukannya tanpa sebab. Dengan posisi tepat ke sumbu utara-selatan, maka sisi utara piramida Giza akan selalu berhadapan dengan bintang Thuban atau alpha Draconis (tingkat terang +3,7), bintang penanda kutub utara langit pada 4.500 tahun silam. Sebagai bintang kutub, posisi bintang Thuban selalu berada di titik yang sama tanpa pernah beringsut sepanjang waktu.

Kekhasan posisi bintang Thuban rupanya sejalan dengan konsep keabadian dalam Mesir kuno, sehingga sebuah lorong kecil dibangun dari ruang Firaun (di dalam piramid) menuju sisi utara, yang memungkinkan cahaya bintang Thuban tepat menyinari kepala jasad Firaun. Demikian pula bintang terang terdekat dengan Thuban, yakni bintang Kochab atau beta Ursa Minor (tingkat terang +2). Bintang ini pun selalu nampak di langit utara sepanjang waktu, yang seakan-akan berputar mengelilingi bintang Thuban. Gerak berputar ini memberi kesan kalau bintang Kochab adalah pasangan setia bintang Thuban. Sehingga sebuah lorong pun dibangun untuk memungkinkan cahaya bintang Kochab menyinari ruang Permaisuri, yang diletakkan tepat di bawah ruang Firaun, khususnya saat bintang itu berkulminasi atas.



Lorong Piramida
Bangsa Mesir kuno amat terpesona dengan rasi bintang Waluku atau Orion, yang dianggap sebagai perwujudan dari Osiris dalam mitologi Mesir kuno. Nyawa dari Firaun yang sudah tiada diyakini akan bergabung dengan Osiris. Sehingga sebuah lorong pun dibangun dari ruang Firaun menembus sisi selatan, yang memungkinkan cahaya rasi Waluku (khususnya tiga bintang di sabuk Waluku) menyinari jasad sang Firaun, khususnya saat rasi Waluku berkulminasi atas. Atas alasan yang sama pula, sebuah lorong pun dibangun agar cahaya bintang Sirius, bintang paling terang di langit, bisa menyinari ruang Permaisuri. Bintang Sirius dianggap sebagai perwujudan dari Isis dalam mitologi Mesir kuno.


Candi Borobudur


Candi Prambanan

Fakta yang hampir sama pun dijumpai pada bangunan menyerupai piramida. candi Borobudur misalnya, juga menghadap ke mataangin utama dengan presisi mengagumkan. Pun demikian halnya candi-candi utama dalam kompleks percandian Prambanan. Selain terkait dengan konsep kosmologi dan mitologi Buddha (untuk Borobudur) dan Hindu (untuk Prambanan), presisinya bangunan candi terhadap arah mataangin utama berguna bagi kepentingan praktis. Selain sebagai bangunan religius, candi Borobudur juga berfungsi sebagai petunjuk posisi Matahari, yang dikaitkan dengan siklus musim. Hal serupa kemungkinan juga berlaku bagi Candi Prambanan. Sehingga, dalam perspektif astronomi, piramida ataupun bangunan menyerupai piramida merupakan observatorium kuno tempat kaum cendekia (khususnya pendeta) mengamati langit.