Dalam literatur dan
kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta
tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha
Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas. Pun dalam kejawen, karena bukan lah
agama, maka dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud “laku spiritual”
dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual” dalam tataran lahiriahnya.
Laku ritual merupakan simbolisasi dan kristalisasi
dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirih
(menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. Banyak kalangan
yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja
timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku
sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah
Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar.
Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan,
ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak
tepat dan melenceng dari makna yang sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk
upaya politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah
“mbalung sungsum” di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan
paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin
surga.
Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun
persepsi di atas ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan
persepsi dan asumsi terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang
sesungguhnya.
Setidaknya, kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang
akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan
semangat berkarya dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Mantra tidaklah
sama maknanya dengan doa. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian
sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara
memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan
tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning
bawana”.
Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura
magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis
memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang
membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi,
langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk
menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad
tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis
berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta
terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara
kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua
kemungkinan yakni pertama; bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu
(sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak
(adesif). Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi
vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni
manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.
PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan
melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak oleh keterbatasan
akal-budi dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek
benere dewe (cari benernya sendiri).
Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya
harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan
menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang
saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib.
Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia
dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi
diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap
diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk
mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena
kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita
sendiri.
HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai
sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh
manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh
Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga
dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan
berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku batin.
Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan
mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan
atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan
sebagainya. Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan
yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Maha luas tanpa
batas, dan Tuhan yang Maha kasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam
menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki.
Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari
sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu
bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat
dinamis. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus
Tuhan Yang Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA,
baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
WAHYU PURBA
Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa Wisnu atau sama
hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat memelihara. Ini suatu
pelajaran hidup yang mengandung “rumus Tuhan” bahwa di dalam kehidupan alam
semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh
kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan
manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan
kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik
dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara
oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran
dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan,
kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Barang siapa yang berhasil
membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara “jagad kecil”
yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan “jagad raya” disebut
sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. Dyatmika berarti batin,
atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk
memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang
disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan
tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah
tenaga dalam.