Hukum Memakan Ikan yang Memakan Kotoran Manusia

Ikan Gurame
Ikan (Hewan) yang memakan kotoran manusia termasuk didalam kategori "Al-Jallalah". Maksud Al-Jallalah yaitu setiap hewan yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). “Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jallalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).

Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).

Al Khottobi mengatakan bahwa manusia telah berbeda pendapat tentang memakan daging dan susu binatang jallalah. Para ulama Syafi’i dan Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa ia tidak boleh dimakan sehingga dikurung selama beberapa hari yang diberi makan dengan makanan yang suci dan apabila dagingnya sudah baik maka tidak apa-apa untuk dimakan.
Diriwayatkan didalam sebuah hadits bahwa sapi dikurung dan diberi makan dengan makanan yang suci selama 40 hari kemudian boleh dimakan dagingnya. Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ayam dikurung selama tiga hari kemudian disembelih.

Sedangkan Ishaq bin Rohuyah mengatakan tidak masalah dagingnya (jallalah) dimakan setelah dicuci bersih. Al Hasan al Bashri tidak melihat ada masalah tentang makan daging jallalah, begitu pula dengan Malik bin Anas. Ibnu Ruslan didalam “Syarh as Sunan” bahwa tidak ada batasan waktu tertentu dalam pengurungan jallalah, sebagian ada yang berpendapat terhadap onta dan sapi adalah 40 hari sedangkan kambing 7 hari, ayam 3 hari dan inilah pilihannya dalam kitab al Muhadzab wa at Tahrir. (Aunul Ma’bud juz X hal 187)

Para ulama yang memakruhkan dan tidak membolehkan memakan daging jallalah bersepakat membolehkan makan daging tersebut setelah binatang itu dikurung dalam batas waktu tertentu dan diberi makan dengan makanan yang baik sehingga daging itu menjadi baik kembali. Hal itu dikarenakan yang menjadi sebab tidak dibolehkannya adalah adanya perubahan pada dagingnya dan ketika sebab itu hilang dengan dikurung maka binatang itu tidak disebut lagi dengan jallalah.

Adapun apabila binatang itu tidak dikurung terlebih dahulu maka pendapat yang kuat—wallahu a’lam—adalah makruh dimakan dagingnya, makruh pula telur, susu atau menaikinya tanpa menggunakan alas duduk. Pendapat ini dipilih oleh al Khottobi terhadap hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw melarang dari meminum susu jallalah.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan an Nasai dengan mengatakan,’makruh memakan daging dan susunya demi kebersihan dan kesucian.’—Ma’alimus Sunan juz V hal 306. (www.islamweb.net)

Pendapat yang bisa dipakai untuk menguatkan hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa kotoran yang dimakan oleh binatang jallalah tersebut telah berubah menjadi dagingnya sebagaimana darah yang berubah menjadi daging. Pernyataan ini seolah-olah mengatakan bahwa kotoran yang dimakan tersebut tidaklah ada pengaruhnya sama sekali terhadap bau maupun rasa dari daging binatang tersebut.

Dengan demikian diperbolehkan menjualnya baik sebelum maupun setelah dikurung dan diberikan makanan yang baik. Akan tetapi menjualnya setelah dikurung lebih baik daripada sebelum dikurung demi menjaga kebersihan dari dagingnya tersebut.