Hukum Perceraian

Hukum Perceraian
Adakalanya ikatan pernikahan itu tidak dapat dipertahankan lagi, karena sebab sebab mendesak supaya sebaiknya ikatan itu diputuskan saja. Mungkin karena ketidak-cocokan serius dan terus menerus, mungkin salah satu pihak melakukan kesalahan yang tak termaafkan mungkin karena penyakit jiwa atau yang lainnya.

Oleh karena itu Islam tidak menutup pintu sama sekali perceraian, meskipun Islam sama sekali tidak mengharapkan apalagi menganjurkan. Bahkan tegas Nabi bersabda :


"Yang paling dibenci oleh Allah di antara hal yang diperbolehkan ialah talak."


Ada bermacam proses dan prosedur "Perceraian" didalam Hukum Perkawinan Islam. Ada yang atas inisiatif suami, ada pula yang atas inisiatif istri dan adakalanya diputuskan hakim atas kekuasaan hukum.

Talak adalah prosedur perceraian atas inisiatif suami. Menurut hukum, si suami berhak menalak istrinya, dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Penalakan itu dilakukan dengan ucapan yang jelas (kata-kata : talak, cerai atau semacamnya)
  2. Sampai berakhirnya masa iddah (masa menunggu sampai istri boleh menikah lagi) si suami tetap berkewajiban memberikan nafkah dan menyediakan perumahan bagi si istri.
  3. Selama masa iddah, si suami berhak (bahkan dianjurkan) merujuk kembali istrinya (kembali menjadi istri yang sah), yang seakan-akan merupakan pencabutan talak meskipun tanpa persetujuan si istri.
  4. Kalau masa iddah sudah berakhir dan si suami ingin kembali kepada istrinya, haruslah dilakukan dengan akad nikah baru, yang berarti harus dengan persetujuan bekas istri dan walinya, tidak cukup hanya dirujuk saja (suami telah mengulur-ngulur waktu).
  5. Ruju itu hanya diperkenankan dua kali, kalau sudah cerai-rujuk, cerai-rujuk dan cerai lagi, maka bukan saja tidak boleh rujuk lagi, tetapi tidak boleh nikah kali dengan bekas suami atau istri itu (dengan akad baru) sebelum si istri menikah dengan suami lain, (sebagai hukuman bagi suami yang main cerai-rujuk, cerai-rujuk saja).

Selain hal-hal tersebut diatas, setiap suami yang menceraikan istrinya tetap dituntut tanggu jawab di hadirat Allah SWT. kelak atas tidakannya itu, apakah hal itu tidak menimbulkan mudarat bagi si istri, anak-anak dan lain sebagainya. Bahkan ditegaskan bahwa haram hukumnya menalak istri yang sedang haid atau dalam keadaan suci tetapi didalam masa suci itu si suami tetah melakukan koitus dengan si istri, karena hal itu akan memperpanjang masa iddah.

Talak pada waktu istri haid itu disebut talak bid'iy, sedang diluar itu talak sunniy. Talak yang masih boleh disusul dengan rujuk disebut talak raj'iy, sedang yang sudah tidak boleh disusul dengan rujuk disebut talak ba-in.

Khulu' adalah prosedur perceraian atas inisiatif si istri dengan memberikan sekedar "ganti" oleh si istri kepada suami. Jelasnya khulu ini merupakan jalan keluar bagi si istri dari "ikatan" dengan suami yang tidak disenanginya, meskipun si suami belum/tidak melakukan kesalahan hukum. Tentunya khulu' ini hanya dapat berlangsung kalau si suami menyetujuinya. perceraian dengan proses khulu' ini tidak dapat disusul dengan rujuk (kalau ingin kembali, harus dengan nikah baru).

Faskh adalah proses dan prosedur perceraian atas tuntutan si istri, karena si suami melalaikan kewajibannya.

Kelalaian pokok yang dapat menjadi alasan si istri menuntut fasakh ialah :
  1. Tidak memberikan nafkah, kiswah dan rumah sampai batas waktu tertentu.
  2. Tidak melakukan/tidak mampu melakukan koitus dengan istri.
  3. Hal-hal lain yang dapat dicantumkan didalam ta'liq talak (janji gantung talak diwaktu akad nikah).

Prosos dan prosedur fasakh adalah sebagai berikut :



  • Kalau suami ternyata melalaikan kewajibanya dan si istri merasa ingin melepaskan diri dari ikatan pernikahan itu, maka si istri mengadukan halnya kepada hakim/ketua pengadilan agama, untuk mohon fasakh.
  • Hakim memeriksa pekara itu, apakah benar pengaduan si istri.
  • Kalau ternyata benar, maka hakim membenarkan pengaduan si istri dan memutuskan fasakh yang berarti putuslah hubungan pernikahan itu.

Syiqaq adalah situasi ketidakcocokan yang serius dan terus menerus yang tidak dapat diatasi sendiri oleh suami dan istri. Jalan penyelesaian yang diajarkan oleh Islam adalah sebagai berikut :
  1. Suami menunjuk seseorang yang dipercayainya untuk menjadi wakilnya.
  2. Istri menunjuk pula wakilnya.
  3. Kedua orang wakil suami dan wakil istri ini (yang disebut hakam) bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari ketidakcocokan ini.
  4. Kalau perlu masing-masing hakam memberikan nasehat-nasehat/saran-saran/usul-usul kepada masing-masing pihak (suami dan istri) untuk damai kembali.
  5. Kalau jalan damai kembali ini sudah tidak mungkin, maka kedua hakam menyampaikan masalah ini kepada hakim/ketua pengadilan agama.
  6. Hakim bersama hakam-hakam berusaha mendamaikan sekali lagi.
  7. Kalau sudah tidak memungkinkan lagi, maka hakim berhak "menceraikan" atau memutuskan hubungan suami istri itu.

Dari uraian-uraian tersebut diatas jelaslah kiranya bahwa hak cerai didalam Hukum Perkawinan Islam tidaklah mutlak hanya berada di tangan suami.

Dalam situasi dan kondisi tertentu  si istri mendapat jalan yang terhormat untuk berusaha melepaskan diri dari suami yang tidak disenanginya/yang berlaku zalim/salah terhadap istri.

Sudah barang tentu, segala usaha bercerai ini baik atas inisiatif suami maupun atas inisiatif istri, kedua belah pihak tidak lepas dari tuntutan tanggungjawab :
  1.  Terhadap Allah
  2. Terhadap anak cucu.
  3. Terhadap keluarga seluruhnya.
  4. Terhadap masyarakat.

Laknat Allah dan laknak sesama manusia akan selalu mengancam barangsiapa yang menyalahgunakan perceraian ini.

Dua orang manusia telah mengikat diri dengan akad nikah atas nama Allah, atas nama keluhuran. Kalau terpaksa harus berpisah, haruslah perpisahan itu berlangsung dengan alasan-alasan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan dan dengan cara yang seadil mungkin.