Tata Cara Mandi Besar (Junub) Lengkap

Defenisi Mandi Janabah


Definisi Mandi :

Al-Ghuslu (Mandi) secara bahasa adalah kata yang tersusun dari tiga huruf yaitu ghain, sin dan lam untuk menunjukkan sucinya sesuatu dan bersihnya. (Lihat Mu’jam Maqayis Al-Lughoh 4/424).

Al-Ghuslu adalah mengalirnya air pada sesuatu secara mutlak. (Lihat : As-Shihah 5/1781-1782, Lisanul ‘Arab 11/454, Mufradat Al-Ashfahany hal. 361 dan AN-Nihayah Fii Ghoribul Hadits 3/367).

Dan Al-Ghuslu secara istilah adalah menyiram air ke seluruh badan secara khusus. (Lihat Ar-Raudh Al-Murbi’ 1/26, Mu’jam Lughatul-Fuqaha` : 331 )

Kata Ibnu Hajar : Hakikat mandi adalah mengalirkan air pada anggota-anggota tubuh.( Lihat: Fathul Bary :1/359)


Definisi Janabah :

Janabah secara bahasa adalah Al-Bu’du (yang jauh). Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :


وَالْجَارِ الْجُنُبِ

“Dan tetangga yang junub (jauh)”. (QS. An-Nisa` : 36) 
Dan juga dalam firman-Nya yang Maha agung :


فَبَصَرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ 

“Maka Ia (saudara perempuan Nabi Musa) melihatnya dari junub (jauh) sedangkan mereka tidak mengetahuinya”. (QS. Al-Qoshash : 11) 


Adapun secara istilah adalah orang yang wajib atasnya mandi karena jima’ atau karena keluar mani. (Lihat : Al-I’lam 2/6-9, Ihkamul Ahkam 1/356 dan Tuhfatul Ahwadzy 1/349)



Hukum Mandi Janabah

Mandi Janabah adalah wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’.

Adapun dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبٍا فَاطَّهَّرُوْا

“Dan jika kalian junub maka mandilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6)


Dan juga Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :


وَلاَ جُنُبٍا إِلاَّ عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا

“Dan jangan pula (dekati sholat) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”. (QS. An-Nisa` : 43) 

Adapun dari sunnah, akan datang beberapa hadits dalam pembahasan yang menunjukkan tentang wajibnya mandi janabah.

Adapun Ijma’ telah dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 3/220.


Hal-hal yang mewajibkan mandi

Berikut ini beberapa perkara yang apabila seorang muslim melakukannya maka wajib atasnya untuk mandi.


Satu : Keluarnya mani dengan syahwat.

Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga. Dan para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mandi dengan keluarnya mani,sebagaimana yang dinukil oleh Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobary sebagaimana dalam Al-Majmu’ 2/158, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 21, An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 4/36 dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/47.

Dan ada beberapa dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut, diantaranya :

1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :


جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِيْ مِنَ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ الْغُسْلِ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ 

“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, maka apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi ?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat air (mani-pen.)” (HSR. Bukhary-Muslim). 

Sisi pendalilannya : sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mewajibkan mandi kepada wanita jika keluar air (mani-pen) dan hukum terhadap laki-laki sama. (Lihat Fathul bary :1/462, Ihkamul ahkam : 1/100)


2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :


إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ 

“Air itu hanyalah dari air”. (HSR. Bukhary-Muslim). 

Maksud dari air yang pertama adalah air untuk mandi wajib sedangkan air yang kedua adalah air mani, maka maknanya adalah air untuk mandi itu wajib karena keluarnya air mani.


Faedah :

1. Kalau seorang mimpi tetapi tidak mendapati mani, maka tidak wajib mandi menurut kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya; Al-Ijma’ (34) dan Al-Ausath 2/83. Dan lihat pula Al-Majmu’ 2/162.

2. Kalau seseorang terjaga dari tidur kemudian dia mendapatkan cairan dan tidak bermimpi maka dia wajib mandi, karena hadits Aisyah radhiyallhu ‘anha beliau berkata :

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ بَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ إِحْتِلاَمًا قَالَ : يَغْتَسِلُ. وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهً قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ : لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ

“Rasulullah ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas basahan dan dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib mandi. Dan (beliau juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa dirinya mimpi tapi tidak mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud no. 236, At-Tirmidzy no. 112 dan Ibnu Majah no. 612 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy). 


Dan juga dalam hadits Ummu salamah di atas :

فَقَالَ: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ 

“(Rasulullah) menjawab : ” Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”. 
3. Kalau keluar mani tanpa syahwat seperti karena kedinginan atau sakit maka tidak wajib mandi.

Hal ini berdasarkan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ فَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا رَأَيْتَ فَضْحَ الْمَاءِ فَاغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا فَضَحْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ.

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah dari janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”. Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107, 109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i 1/93 dan dishohihkan oleh Ahmad Syakir dan Syeikh Al-Albany rahimahumullah dalam Al-Irwa` 1/162). 

Sisi pendalilan : Yaitu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ini mensyaratkan فَضْحُ الْمَاءِ untuk wajibnya mandi sedangkan فَضْحٌ adalah keluarnya air dengan kuat.

Kata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 فَضْحُ الْمَاءِ adalahدَفْقُهُ (memancar). Dan kata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/267 : اَلْفَضْحُ خُرُوْجُهُ عَلَى وَجْهِ الشِّدَّةِ (Keluarnya air mani dengan cara yang kuat).

Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak dengan syahwat maka tidak wajib mandi, sebab mani itu dapat keluar dengan kuat dan memancar dan hal tersebut tidaklah terjadi kecuali kalau keluarnya dengan syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dan dikuatkan oleh Ahli Fiqh zaman ini Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. (Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/386-387.)


Dua : Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ شُعُبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan) kemudian ia bersungguh-sungguh[1] maka telah wajib atasnya mandi. Dan salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. (HSR. Bukhary-Muslim) 

Kata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim 4/40-41 :
Makna hadits ini bahwasanya wajibnya mandi tidak terbatas hanya pada keluarnya mani, tetapi kapan tenggelam kemaluan laki-laki dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya untuk mandi.

Kata Imam Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/6 : Dan kebanyakan ulama beramal dengan hadits ini demikian pula yang datang sesudahnya, bahwa siapa yang menggauli istrinya pada kemaluannya maka wajib mandi atas keduanya walaupun tidak keluar mani.

Faedah :

Adapun hadits Abu Sa’id sebelumnya yang membatasi mandi hanya ketika keluar mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam jima’ oleh hadits Abu Hurairah ini dengan konteks lafazh yang tegas “walaupun tidak keluar”.

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Adapun hadits “Air itu hanyalah dari air”, jumhur shahabat dan yang setelah mereka menyatakan bahwa ia telah dimansukh dan mansukh yang mereka maksudkan adalah bahwa mandi karena melakukan jima tanpa keluar mani telah gugur (hukumnya) dan kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim 4/36).

Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu :

إِنَّمَا كَانَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةً أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرْنَا بِالْإِغْتِسَالِ بَعْدُ

“Sesungguhnya mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh (keringanan) pada awal Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi sesudah itu” (HR. Ahmad 5/115-116, Abu Daud no. 215, At-Tirmidzy no. 111 dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shohih. Dan dishohihkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/155 dan Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/34 dan Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/541).

Kata Ibnu Mundzir : Ini adalah pendapat semua orang yang kami hafal darinya dari ahli fatwa dari ulama-ulama negeri dan saya tidak mengetahui sekarang adanya khilaf dikalangan ahli ilmu. (Al-Ausath 2/81)


Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.

Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :

a. Firman Allah Ta’ala

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “. (QS. Al-Baqarah : 222).

Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh yang demikian kecuali dengan mandi, dan apa-apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu wajib. Al-Majmu’ 2/168.

b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :

إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي

“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. (HR. Bukhary-Muslim).

c. Ijma’

Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya (Majmu’ 2/168).

Kata Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny 1/277).

Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.

Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas, juga telah dinukil ijma’ oleh Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 2/248.

Kata Ibnu Qudamah :
Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin. Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak ada pengalihannya maka dinamakan nifas. (Lihat Al-Mughny: 1/277).

Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid (lihat Al-Majmu’: 2/167)


Empat : Orang kafir yang masuk Islam.

Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya atau tidak, didapatkan darinya pada zaman kekafirannya apa-apa yang mewajibkan mandi atau tidak.

Dalil-dalilnya :

a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang sengaja mandi[2] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam. 

b. Hadits Qois bin A’shim radhiyallahu ‘anhu :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أُرِيْدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara”. (HR. Ahmad 5/61, Abu Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91, At-Tirmidzy no. 605 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/187).

Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan derajatnya. Wallahu A’lam.

Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya.

Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma’alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.


Lima : Meninggal (mati)

Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.

Adapun dalil-dalilnya :

(1) Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.

“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. (HR. Bukhary-Muslim).

(2) Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda :

اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air dan daun bidara”. (HR. Bukhary-Muslim).



******



Tata Cara (Sifat Mandi)


Tata cara mandi junub terbagi atas 2 cara :

1) Cara yang sempurna/yang terpilih.

2) Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
(Lihat Al-Mughny :1/287, Al-Majmu’ : 2/209, Al-Muhalla: 2/28, dan lain-lain.)


Faedah:

Kata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat sempurna. (Lihat As-Syarh Al-Mumti’ : 1/414).

Adapun tata cara yang mujzi` :

1. Niat.

Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu)


Faedah :

a. Kata Ibnu Abdil Bar : Pendapat yang shohih (benar) adalah tidak sah thoharah (bersuci) kecuali dengan niat dan maksud, karena sesungguhnya kewajiban-kewajiban tidaklah bisa ditunaikan kecuali bermaksud menunaikannya dan tidak dinamakan pelaku yang hakiki (sesungguhnya) kecuali ada maksud darinya untuk perbuatan tersebut dan mustahil seseorang akan menunaikan sesuatu yang tidak dia maksudkan untuk menunaikannya dan berniat untuk mengerjakannya. (At-Tamhid 2/283)

b. Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : Niat itu ada dua :

Pertama : Niat untuk mengamalkan suatu amalan dan itulah yang dibicarakan oleh para fuqaha` karena niat itu yang menshohihkan amalan.

Kedua : Niat untuk siapa amalan ditujukan dan inilah yang dibicarakan oleh ulama Tauhid karena hal tersebut berkaitan dengan keikhlasan.


Misalnya : ketika seorang ingin mandi (junub-pent) dia berniat mandi, maka inilah yang dinamakan niat amalan. Akan tetapi jika dia berniat mandi untuk mendekatkan diri kepada Allah karena ta’at kepadanya, maka inilah yang dinamakan niat untuk siapa amalan itu ditujukan, yaitu mencari wajah-Nya yang Maha Suci. Dan yang terakhir ini yang kebanyakan diantara kita lalai darinya, kita tidak menghadirkan niat untuk taqarrub (mendekatkan diri). Kebanyakan kita mengerjakan ibadah karena kita diharuskan untuk melaksanakannya, maka kita meniatkannya untuk menshohihkan amalan, maka ini adalah kekurangan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tatkala menyebutkan amalan :

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

“Kecuali mencari wajah Rabbnya yang Maha Tinggi “.( QS. Al-Lail : 20 )

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ

“Dan orang-orang yang sabar mencari wajah Rabb mereka “. (QS. Ar-Ra’du : 22)

يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“Mencari keutamaan dari Allah dan ridho-Nya” . (QS. Al-Hasyr : 8)

(Lihat : Syarh Mumti’ 1/417).


2. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.

Dalil-dalilnya :

1) Firman Allah Ta’ala :

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kalian junub maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).

Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya (Lihat Al-Muhalla : 2/28)

2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :

قَالَ تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَمَا أَنَا فَيَكْفِيْنِيْ أَنْ أُصُبُّ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفِيْضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِيْ.

“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata : Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. (HR. Ahmad dan dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan asal hadits ini dalam riwayat Bukhary-Muslim).

3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang, beliau berkata :

وَكَانَ آخِرَ ذَاكَ أَنْ أَعْطِيَ الََّذِيْ أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ : إِذْهَبْ فَافْرُغْهُ عَلَيْكَ

“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan tuangkanlah atas dirimu air itu “.

Kata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air kepada dirinya. Seandainya mandi itu wajib sebagaimana tata cara mandinya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (yang sempurna-pent.), tentunya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjelaskan kepada orang tersebut, karena mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan adalah tidak boleh”. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ :1/424).


Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :

Yang menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu ‘anhuma.

Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya –dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai beliau menyangka sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya. (HR. Bukhary-Muslim).

Dalam hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu tidaklah berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah dimaklumi dari dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan telah kami sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.

Maka dari hadits ‘Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :

1. Mencuci kedua telapak tangan. Dan ada keterangan dalam saah satu riwayat Muslim dalam hadits ‘Aisyah ini bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.

2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.

3. Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat. 

4. Kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, kemudian menciduk air dari satu cidukan dengan kedua tangan tadi, kemudian menuangkan air tadi diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di kepala.

5. Kemudian menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.

Dan diterangkankan dalam hadits ‘Aisyah riwayat Muslim :

كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلاَبِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bila mandi dari junub, maka beliau meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong yang dipakai untuk menyimpan air susu yang diperah dari binatang), kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya maka beliau memulai dengan bagian kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri, kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua tangannya diatas kepalanya”.

6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.

Beberapa Catatan :

Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan

Dalil-dalilnya :

1. Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :

كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya”.

2. Hadits ‘Aisyah juga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :

كَناَ إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةُ أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهِ ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدَيْهَا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ وَبِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ

“Kami (istri-istri Nabi-Pent) jika salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil dengan kedua tangannya tiga kali diatas kepalanya kemudian mengambil dengan salah satu tangannya diatas bagian kepalanya yang kanan dan tangannya yang lainnya diatas bagian kepalanya yang kiri.”
(Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu’: 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan dalam hadits ‘Aisyah dengan lafazh :

فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا

“Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali”.

Tambahan “tiga kali” dalam hadits diatas dikritik oleh Imam Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar sehingga beliau menganggap bahwa tambahan tersebut ghairu mahfuzh (tidak terjaga) atau dengan kata lain sebagai tambahan yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Dan kritikan tersebut dikuatkan pula oleh Ibnu Rajab rahimahullah.

Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 karya Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/234 karya Ibnu Rajab (cet. Dar Ibnul Jauzy)

Ada tambahan lain dalam hadits ‘Aisyah juga riwayat Muslim, lafazhnya sebagai berikut :

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

“Kemudian beliau mencuci kedua kakinya”.

Tambahan diatas juga dilemahkan oleh Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan alasan bahwa Abu Mu’awiyah bersendirian dalam meriwayatkannya dari Hisyam. Sedangkan sedangkan murid-murid hisyam lainnya tidak yang meriwayatkannya, seperti Za`idah, Hammad bin zaid, Jarir, Waki’, ‘Ali bin Mushir dan lain-lainnya. Dan Imam Muslim sendiri telah memberikan isyarat bahwa tammbahan itu adalah lemah.

Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/233-234 bersama ta’liq Thoriq bin ‘Iwadhullah.
Kesimpulan Cara Mandi Dalam Hadits ‘Aisyah

Mencuci kedua telapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan keatas tangan kiri lalu mencuci kemaluan, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat, kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, lalu menciduk air dari satu cidukan lalu menuangkan air tadi diatas kepala dan menyela-nyelai rambut sampai ke dasar kepala, kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.


Dua : Sifat mandi junub dalam hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha.

Adapun cara yang kedua :

Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :

وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.

“Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan kanannya diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya sampai siku kemudian menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh tubuhnya kemudian mengambil posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya kemudian saya memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau tidak menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. (HR. Bukhary-Muslim).

Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :
Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.

Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.
Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi sedangkan dalam hadits ‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.


Catatan Penting

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa perbedaan antara hadits ‘Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak terjadi dalam beberapa ‘ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan ‘ibadah tersebut dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan kepada umat bahwa ada keluasan dalam bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut. Sepanjang ada tuntunan dalam Syari’at yang menjelaskan bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut maka boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih berganti. Demikian makna penuturan Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dalam kitab beliau Tanbihil Afham bisyarhi ‘Umdatil ‘Ahkam 1/83.


Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Tata Cara Mandi Junub

1. Apakah disyariatkan menyela-nyelai jenggot?


Para Fuqoha` menyebutkan perkara ini dalam tata cara mandi junub, seperti Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/287. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar (At-Tamhid 2/278) didalam hadits ‘Aisyah didapatkan apa yang menguatkan pendapat yang menyela-nyelai (jenggotnya-pent) karena ucapannya ‘Aisyah :

فَيَدْخُلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ الشَّعْرِ

“Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memasukkan jari-jarinya ke dalam air kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya dasar-dasar rambut”

Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.


2. Tata cara mandi janabah ini juga berlaku bagi perempuan dan tidak ada perbedaan kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya.

Dan membuka kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila air dapat sampai ke pangkal rambut tanpa membuka kepangnya, sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha :

إِنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضَفْرِ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِلْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.

“Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah saya harus membukanya untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak, sesungguhnya cukup bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali kemudian menyiram air diatasnya, maka kamu sudah suci”. (HSR. Muslim )

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ : بَلََغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ فَقَالَتْ : يَا عَجَبًا لِاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا ! يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ !! أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ ؟ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أَفْرُغَ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ.

“Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, beliau berkata : telah sampai kepada ‘Aisyah bahwasanya Abdullah ibnu ‘Amr memerintahkan para perempuan untuk membuka kepang rambut bila mandi janabah. Maka ‘Aisyah berkata : Alangkah mengherankan Ibnu ‘Amr ini, ia memerintahkan para perempuan untuk membuka kepang rambutnya, kenapa dia tidak memerintahkan mereka untuk menggundul rambutnya?. Sesungguhnya saya mandi bersama Rasulullah dari satu bejana dan tidaklah saya menambah dari menyiram kepalaku tiga kali siraman”. (HSR. Muslim )

Berkata Imam Al-Baghawy : Mengamalkan hal ini adalah pilihan semua Ahlul ‘Ilmi bahwasanya membuka kepang rambut tidak wajib pada mandi junub jika air bisa masuk ke pangkal rambutnya. (Syarh Sunnah 2/18)


3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara :

a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah :

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ عَنْ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَقَالَ : خُذِيْ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرِيْ بِهَا فَقَالَتْ : كَيْفَ أَتَطَهَّرُِ بِهَا فَقَالَ : تَطَهَّرِيْ بِهَا ؟ قَالَتْ : كَيْفَ ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهُ تَطَهَّرِيْ. فَاجْتَذَبَتْهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ : تَتَبَّعِيْ أَثَرَ الدَّمِ.

“Sesungguhnya ada seorang perempuan datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya tentang mandi dari Haid. Maka Nabi menjawab ambillah secarik kain yang diberi wangi-wangian kemudian kamu bersuci dengannya. Dia bertanya lagi : Bagaimana saya bersuci dengannya?. Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab : Bersucilah dengannya . Dia bertanya lagi bagaimana?. Nabi Menjawab : Subhanallah, bersucilah dengannya. Kemudian akupun menarik perempuan itu ke arahku, kemudian saya berkata : Ikutilah (cucila) bekas-bekas darah (kemaluan)”. (HR. Bukhary-Muslim)

Dan ini dilakukan sesudah selesai mandi sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah bahwasanya Asma` bintu Syakal bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang mandi Haid, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab :

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدْلِكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتَى يَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ أَسْمَاءُ : وَكَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ الله تَطَهَّرِيْنَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : كَأَنَّهَا تَخْفَى ذَلِكَ تَتَبَّعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ.

“Hendaklah salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun bidara kemudian bersuci dengan sempurna kemudian menyiram kepalanya dan menyela-nyelanya dengan keras sampai ke dasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan air. Kemudian mengambil sepotong kain (atau yang semisalnya-pent.) yang telah diberi wangi-wangian kemudian dia bersuci dengannya. Kemudian Asma` bertanya lagi : “Bagaimana saya bersuci dengannya?”. Nabi menjawab : “Subhanallah, bersuci dengannya”. Kata ‘Aisyah : “Seakan-akan Asma` tidak paham dengan yang demikian, maka ikutilah (cucilah) bekas-bekas darah (kemaluan)”. (HSR. Muslim)

(Lihat Al-Majmu’ 2/218, Al-Mughny 1/302, dll)

b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana hadist ‘Aisyah diatas.c. Disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang rambutnya, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary : أُنْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَامْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ ”Bukalah kepang rambutmu dan bersisirlah dan tahanlah ‘umrah kamu”. Sisi pendalilannya : walaupun ‘Aisyah disini mandi untuk tahlil (untuk haji) bukan mandi haid tetapi tahlul (untuk haji) disini mengharuskan dia untuk mandi karena mandi itu merupakan sunnah untuk ihram dan dari situlah datang perintah mandi secara jelas dalam kisah ini, sebagaimana diriwaatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Azzubair dari Jabir

فَاغْتَسِلِي ثُمَّ أَهَلِّي بِالْحَجِّ

”Maka mandilah dan tahallullah untuk haji”

Jadi kalau boleh baginya untuk bersisir dalam mandi ihram padahal hukum mandinya hanya sunnah, maka bolehnya untuk mandi haid yang hukumnya wajib adalah lebih utama.

Tetapi hukum membuka kepang rambut disini hanya sunnah tidak sampai wajib karena hadits Ummu Salamah :

قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضُفْرِ رَأْسِي أَفَاَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ وَفِي رِوَايَةٍ : لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ

“Ummu Salamah bertanya : “Ya Rasulullah, saya adalah perempuan yang sangat kuat kepang rambutku. Apakah saya membukanya untuk mandi jenabah ?. Rasulullah menjawab : “Tidak”. Dan dalam salah satu riwayat : “Untuk mandi haid dan janabah”. (HSR. Muslim).

Dan Imam Bukhary membawakan bab : فقضى المرأة شعرها عند غسل المحيض Wanita membuka kepang rambutnya ketika mandi dari haid.

Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Wallahu A’lam.

Periksa : Al-Majmu’ 2/216, Al-Mughny 1/300, Fathul Bary 1/417 , dan Al-Muhalla 2/38

Kemudian dari sisi pandangan :

a. Ketika mandi janabah tidak perlu membuka kepang rambut sebagai kemudahan karena sering dilakukan, maka tentu memberatkan kalau harus dibuka. Berbeda dengan mandi haid karena hanya dilakukan sekali sebulan umumnya pada wanita normal.

b.
Karena mandi janabah, rentang waktu antara junubnya dengan mandinya lebih pendek dari mandi haid, yang bisa menunggu sampai berhari-hari, maka untuk kesempurnaan mandinya dan kesegarannya maka disyari’atkan dibuka kepang rambutnya.Wallahu A’lam.


4. Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau yang sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut, dan asalnya adalah mubah.

Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhary-Muslim :

أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ فَخَرَجَ عَمَرُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ رَقَدَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ مَاءً يَقُوْلُ : لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِيْ هَذِهِ السَّاعَةِ.

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat ‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’. Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata : “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.”.

Berkata Ibnul Mulaqqin dalam Al-I’lam 2/292 : “Dalam (hadits ini) menunjukkan tidak ber-tansyif (menyeka air dari anggota tubuh) karena andaikata beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ber- tansyif niscaya kepalanya tidak meneteskan air dan tidak seorangpun yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara kepala dan badan dalam hal tansyif “.

Adapun lafadz yang dipakai sebagian ulama tentang makruhnya hal tersebut yaitu lafadz dalam hadits Maimunah :

فَأَتَيْتُهُ بِحِرْقَةٍ فَلَمْ يًُرِدْهَا

“Maka sayapun memberikan kepada beliau secarik kain maka beliau tidak menginginkannya”.


Maka dapat dijawab dari beberapa sisi :

a. Sebagian rawi keliru dalam menetapkan lafadz ini dengan membacanya
فَلَمْ يَرُدَّ هَا yang benarnya adalah فلم يُِردْهَا .

Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar : Dengan di-dhomma awalnya dan dal-nya disukun dari الْإِرَادَةُ dan asalnya ” يُرِيْدُهَا ” tetapi di-jazm-kan dengan lam. Maka siapa yang membacanya di-fathah awalnya (ya`-nya) dan di-tasydid dal-nya maka dia merubah dan merusak maknanya. Dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Affan dari Abu ‘Awanah dengan sanad ini dan diakhirnya beliau berkata :

فَقَالَ : هَكَذَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ لاَ أُرِيْدُهَا.

“Dan dia berkata demikian dan memberikan isyarat dengan tangannya bahwasanya dia tidak menginginkannya”. (Lihat : Fathul Bary 1/376)

b. Ini kejadian tersendiri dan kenyatan tertentu yang tidak boleh diterapkan sebagai dalil secara umum. Apalagi memuat beberapa kemungkinan seperti kemungkinan kotor, basah, merasa cukup dan tidak perlu dan lain-lain. Wallahu A’lam.

c. Maimunah yang memberikan kain kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa kebiasaan beliau setelah mandi adalah menggunakan kain tapi dalam kesempatan ini saja beliau tidak memakainya. Dari keterangan ini, boleh jadi hadits ini bermakna sunnah sebagai kebalikan dari apa yang mereka pahami bahwa mamakai kain setelah mandi adalah makruh.

Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat : Syarh Sunnah : 2/15, Ihkamul Ahkam : 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ : 1/253).


5. Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak berwudhu. Maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil dan besar dan boleh baginya untuk sholat
sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Dan (jangan pula dekati sholat) sedangkan kalian dalam keadaan junub kecuali sekedar berlalu sampai kalian mandi”. (QS. An-Nisa` : 43).

Kata Ibnu Qudamah : dijadikan mandi itu sebagai puncak/tujuan dari larangan untuk sholat, maka jika dia telah mandi wajib maka tidak terlarang lagi baginya untuk sholat. Dan sesungguhnya keduanya yaitu mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka masuk yang kecil kedalam yang besar seperti umrah dalam haji (Lihat :Al-Mughny 1/289).

Kata Ibnu Abdil Bar : orang yang mandi dari janabah jika dia belum berwudhu dan menyiram seluruh badannya maka sungguh dia telah menunaikannya yang wajib baginya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala hanya mewajibkan kepada yang junub mandi dari janabah tanpa wudhu dengan firmannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kalian junub, maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).

Dan itu adalah ijma’ tidak ada khilaf di kalangan para ulama mereka juga sepakat tentang sunnahnya wudhu sebelum mandi mencontoh Rasulullah dan karena wudhu tersebut membantu mandi dan lebih membersihkan padanya. (Lihat : Al-Istidzkar 1/327-328 ).

Kata Imam Asy-Syafi’iy :
Allah mewajibkan mandi secara mutlaq, tidak disebut didalamnya sesuatu yang dimulai dengannya sebelum sesuatu. Maka jika orang yang mandi itu telah mandi (junub-pent), itu sudah cukup baginya dan Allah lebih tahu tentang bagaimana yang Dia datangkan demikian pula tidak ada batasan tentang air pada mandi janabah kecuali agar mendatangkan dengan menyiram seluruh tubuhnya. (Lihat : Al-Umm 1/40, Al-Fath 1/360-361)

Kata Imam Al-Baghawy :
Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu. Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ 1/43 dan dishohihkan sanadnya oleh Al-Arna`uth dalam ta’liqnya pada Syarh Sunnah 2/13. (Lihat pula Majmu’ Fatawa :21/396-397, 1/397, Al-Muhalla : 2/44).


6. Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah mandi janabah tanpa berwudhu lagi,
sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ الْغُسْلِ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi janabah dan sholat dua raka’at kemudian sholat shubuh dan saya tidak melihatnya berwudhu lagi setelah mandi”. (HR. Imam Abu Daud 1/172 no. 250).

Dan dari ‘Aisyah :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ وَزَادَ ابْنُ مَاجَه : مِنَ الْجَنَابَةِ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak berwudhu lagi sesudah mandi. Dan ditambahkan oleh Ibnu Majah : Dari mandi janabah”. (HR. At-Tirmidzy 1/179 no. 107 dan berkata : Hadits ini Hasan Shohih dan An-Nasa`i 1/137 no. 252 dan Ibnu Majah 1/191 no. 579 dan dishohihkan oleh Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/548).

Kata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 2/225) : Dan Ar-Rafi’i dan yang lainnya telah menukil kesepakatan bahwasanya tidak disyariatkan wudhu dan mudah-mudahan itu adalah ijma’.

Tapi perlu diingat bahwa tidak perlunya berwudhu setelah mandi, bila dia meniatkan wadhu bersama dengan mandi sebagaimana telah dimaklumi tentang wajibnya niat pada setiap ‘ibadah. Baca Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 5/326.


7. Disunnahkan untuk tidak kurang dari satu sho’ (empat mudd).

Sebagaimana dalam hadits Safinah radhiyallahu ‘anhu :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ وَيَتَطَهَّرُ بِالْمًدِّ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi dengan satu sho’ dan berwudhu dengan satu mudd (ukuran dua telapak tangan normal). (HSR. Muslim).

Dan dalam hadits Anas :

بِالصَّاِع إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Dengan satu sho’ sampai lima mudd”. (HR. Bukhary-Muslim).

Dan juga diriwayatkan dalam Shohih Al-Bukhary dari hadits Jabir dan ‘Aisyah.


8. Dan boleh kurang dari satu sho’.
Hal ini juga ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya :

a. Hadits ‘Aisyah

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَسَعُ ثَلاَثَةَ أَمْدَادٍ وَقَرِيْباً مِنْ ذَلِكَ

“Saya mandi bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari satu bejana memuat tiga mudd atau sekitar itu”. (HR. Muslim).

b. Hadits ‘Aisyah yang lain :

كُنْتُ أًغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ مِنَ الْجَنَابَةِ

“Saya mandi janabah bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari satu bejana dan tangan kami berebutan didalamnya”. (HR. Bukhary-Muslim).

c. Hadits Ibnu Abbas :

أَنَّ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ كَانَا يَغْسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Maimunah keduanya mandi dari satu bejana”. (HR. Bukhary-Muslim).


9. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.

Hal ini dtunjukkan oleh hadits Abdullah bin Mughoffal dengan sanad yang shohih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطََّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ

“Sesungguhnya akan ada pada ummat ini suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a”.

Wallahu A’lam wa Ahkam.

[1] Ini adalah kinayah dari melakukan hubungan suami-istri.
[2] Pada sebagian riwayat ada lafazh perintah tapi ada kelemahan dari sisi sanadnya.


http://www.an-nashihah.com/?page=artikel-detail&topik=&artikel=6

Sejarah Sholawat Al barzanji

Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.


Sejarah Pengarang Maulid AlBarzanji

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

Sumber : http://pencarisyafaat.blogspot.com/
,

Profile D'Masiv dan Kumpulan Album Lengkapnya

profile d'masiv
d'Masiv adalah band yang terbentuk di Ciledug pd tanggal 03 Maret 2003. sekumpulan anak muda yang gemar bermain musik rajin ikut festival dan parade band yang pernah ada dan menjadi bintang tamu dalam beberapa event musik yang ada di jakarta&sekitarnya.

Setelah menjelajahi berbagai festival yang ada akhirnya d'Masiv mengakhiri pertempurannya di ajang festival dengan menjuarai Festival Musik akbar yang diselenggarakan oleh Deteksi Prod, disponsori oleh A mild (Sampoerna), dan didukung oleh Musica Studio yang dinamakan A Mild Live Wanted. Alhamdulillah d'Masiv berhasil menjadi 1st Winner dari A Mild Live Wanted Rising Star. 


rian pradiptaProfile : RIAN D'MASIV
Nama : Rian Ekky Pradipta ( Rian )
Tanggal Lahir : Yogyakarta 17 Nov 1986
Agama : Islam
Bokap : Daniel Rajasah
Nyokap : Tri Mukhlihah
Warna Favorit : Hijau & Coklat
Makanan Favorit : Ayam Goreng

Seorang frontman sekaligus penulis lagu nomer satu dari d’Masiv, terlahir dengan nama Rian Ekky Pradipta di jogjakarta pada tanggal 17 November 1986, yang akrab di panggil Rian ini, perkenalanya dengan dunia music sudah di mulai sejak dia lahir. Dan oknum yang palng bertanggung jawab atas perkembangan musikalitas dirinya tidak lain adalah ayahnya. 

Pria yang memiliki suara emas ini sangat sengang kalau sudah disediakan makanan yang ada PECEL AYAMnya, anak dari pasangan Daniel Rajasah dan Tri Muflikhah ini sudah memiliki bakat menyanyi sejak kecil, Rian sudah sering di ajak naik turun panggung pada saat umur 3 tahun oleh ayahnya.
Pria yang berbintang Scorpio ini sangat mengidolakan Sherina ini memiliki cita-cita bisa dibilang cukup unik yaitu bisa bahagia dunia akhirat dan tipe wanita idaman Rian ialah seoarang wanita yang mempunyai sesuatu kelebihan yang bisa membuat orang-orang melihatnya, unik, idealis, tidak genit, dan mempunyai wawasan musik yang luas.


dwikky marsaliProfile : KIKI D'MASIV

Nama : Dwikky Aditya Marsali ( Kiki )
Tanggal Lahir : Yogyakarta 23 Nov 1988
Agama : Islam
Anak ke : 2 dari 5 bersaudara
Bokap : Daniel Rajasah
Nyokap : Siti Tri Mukhlihah
Cita-cita : Tur keliling dunia
Warna Favorit : Ungu
Makanan Favorit : Ayam goreng Mentega
Film Favorit : Knowing, Titanic

Rambut kriwil, gitar kramer, dan adik kandung rian. Terlahir dengan nama Dwikky Aditya Marshall, dia lahir pada tanggal 23 November 1988 di Jogjakarta, dia adalah adik kandung nya Rian sang Vokalis. Dengan demikian bakat musicnya berasal dari ayahnya, gitaris yang memiliki hoby browsing di internetn nonton, dan jalan-jalan ini menyebutkan “DEWA 19, Dream Theater, dan Mr Big” sebagai idolanya, cowok yang lebih akrab dipanggil Kiki ini yang suka sama Empek-empek palembang ini juga sangat mengidolakan Prissa Adinda yang salah satu penyanyi cantik di pelantika music Idonesia. Type wanita idaman Kiki adalah seorang wanita yang memiliki rambut panjang, bisa terima dia apa adanya dan yang pasti gak pernah cemburuan.

Cowok ini sangat sayang sama Guitar Kramernya yang di pakai sekarang ini, karena guitar elektrik pertama yang dimilikinya yang ditebus dari Sido Panjaitan, yang merupakan Drummer dari band pop Legendaris.


nurul damar ramadhanProfile : RAMA D'MASIV 

Nama : Nurul Damar Ramadhan ( Rama )
Tanggal Lahir : Jakarta, 2 mei 1987
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 5 bersaudara
Bokap : Kasino Hudaeri
Nyokap : Alm. Warti

Gitar Prince, aktif di pramuka, terlahir dengan nama Nurul Damar Ramadhan pada 2 Mei 1987 di Jakarta ini adalah slah satu Guitaris handal di d’Masiv selain Kiki, rama yang sangat mengidolakan Dewa Budjana sebagai salah satu gitaris idolanya yang di anggap memiliki skill yang luar biasa tinggi, ketertarikan rama sama gitar memang luar biasa dia bahkan mendapatkan gitar elektrik pertamanya saat masih duduk di bangku kelas 5 SD, lagu pertama yang dapat dimainkan oleh rama saat itu adalah “burung kakak tua” siapa sangka gitaris handal yang memiliki hoby nonton ini ternyata dulu merupakan sanggota pramuka aktif, berbagai emblem ketrampilan pun terjahit rapi diseragam coklatnya itu.

Rama yang memiliki artis wanita impian Gita Gutawa ini juga tipe cewek idaman loo.. tipe wanita idaman rama itu mandiri, pintar, cantik, gag merokok, dan bisa main alat musik, satu keinginan Rama yang belum tercapai, Rama ingin membeli rumah untuk ayahnya , tadinya rumah tersebut adalah impian yang dia berikan untuk mama yang bernama Warti


Profile : RAY D'MASIV 
rayyi kurnia iskandar

Nama : Rayyi Kurnia Iskandar D ( Ray )
Tanggal Lahir : Jakarta, 03 maret 1988
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Bokap : Achmad Adang
Nyokap : Yulisnawati
Cita-cita : Jadi Presiden
Warna Favorit : Black & White
Tokoh Idola : Bung Karno

Bassist yang jago masak ini terlahir denngan nama Rayyi Kurniawan Iskandar Dinata lahir di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1988 ini merupakan bassist handal d’Masiv, selain sebagi bassist Rai juga jago masak, Pria yang merupakan jebolan SMIP ini yang pernah megang sebagai assisten koki disalah satu hotel dibilanngan Kebon Sirih, Jakarta. 

Dia lebih memilih memfokuskan diri dengan musik dibandingkan meneruskan kejenjang perguruan yang lebih tinggi. Banyak yang tidak tau kalau dia sempat menjadi ANAK PUNK. Sex Pistols dan Rancid adalah idolanya ini, masa SMP adalah masa silamnya dimana dia sempat berkenalan dengan Rokok, Alcohol, Obat-obatan, Dll. Tapi masih diajak berteman sampai sekarang Cuma rokok

Pria yang suka sama Jessica Iskandar ini memiliki tipe cewek idaman seperti apa adanya, natural, sexy, dan sensual.


wahyu piadji
Profile :WHY ? D'MASIV

Nama : Wahyu Piadji ( Why )
Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Feb 1987
Agama : Islam
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Bokap : Mukradi
Nyokap : Sri Usyuni
Cita-cita : Orang Sukses
Warna Favorit : Abu-abu
Makanan Favorit : Pecel Lele

Penggebuk drum yang pemalu ini, terlahir dengan nama Wahyu Piadji pada tanggal 1 Februari 1987 di Jakarta, cowok yang akrab dipanggil Why ini sangan doyan sama yang namanya Pecel Lele, Why kecil sangat jarang bergaul, teman bermainnya bis dihitung dengan jari, di dalam kelasnya paling Why kecil ngobrol sama teman sebangkunya, hal ini terus berlanjut hingga SMP, bahkan SMA berantem atau tawuran tidak ada dalam kamus cowok ini, tapi jangan tanya bakat musicnya, sejak kelas 6 SD why sudah bergabung dengan sebuah Band. Why sangat mengidolakan artis Sandra Dewi.

Mempunyai tipe cewek idaman cantik, seiman, kalo bisa orang jawa, menurut teman-temannya Why merupakan kependekan dari Wajah Halus kemaYu.



Kumpulan Lagu-lagu d'Masiv Lengkap :


d'masiv perubahanAlbum Perubahan 2008 
  1. Cinta Ini Membunuhku 
  2. Diam Tanpa Kata 
  3. Merindukanmu 
  4. Aku Percaya Kamu 
  5. Dan Kamu 
  6. Cinta Sampai Disini 
  7. Sebelah Mata 
  8. Dilema 
  9. Ilfil (Manusia Tak Berharga) 
  10. Tak Pernah Rela 
  11. Luka Ku 
  12. Di Antara Kalian 


d'masiv perjalananAlbum Perjalanan 2010
  1. Rindu Setengah Mati 
  2. Sudahi Perih Ini 
  3. Apa Salahku 
  4. Semakin 
  5. Jangan Pergi 
  6. Tak Sejalan Lagi 
  7. Mohon Ampun Aku 
  8. Ungkapkan Saja 
  9. Dia Atau Aku 
  10. Kau Jatuh Cinta Lagi 
  11. Aku Takluk" 4:05 
  12. Menanti Keajaiban 
  13. Menyegarkan 
  14. Jangan Menyerah (bonus track) 

d'masiv persiapanAlbum Persiapan 2012
  1. Natural 
  2. Bertepuk Sebelah Tangan 
  3. Pergilah Kasih 
  4. Jelaskan Statusmu 
  5. Aku Kehilanganmu 
  6. Aku Kehilanganmu Closing 
  7. Damai 
  8. Nyaman 
  9. Beri Kami Yang Terbaik 
  10. Aku & Kamu (Tuhan Yang Tahu) 
  11. Jalani Sepenuh Hati 
  12. Berbesar Hati 
  13. Naksir

d'masiv hidup lebih indahAlbum Hidup Lebih Indah
  1. Esok Kan Bahagia (featuring Ariel, Giring, Momo)
  2. Cahaya Hati
  3. Batu
  4. Jarak dan Waktu
  5. Yang Terpenting
  6. PD
  7. Semenjak Engkau Pergi
  8. Salah Paham
  9. Simpati Padamu
  10. Rindu 1/2 Mati
  11. Cinta Ini Membunuhku
  12. Jangan Menyerah

d'masiv with raefAlbum d'Masiv with RAEF
  1. Thola'al Badru - d'Masiv & Raef
  2. Negeriku Cintaku (Home) - d'Masiv & Raef
  3. You Are the One - Raef
  4. Saat Terbaik - d'Masiv
  5. Peace & Blessing - Raef
  6. Damai - d'Masiv
  7. So Real (feat. Maher Zain) - Raef
  8. Mohon Ampun Aku - d'Masiv
  9. Mawlaya - Raef
  10. Jangan Menyerah - d'Masiv